FIKA

By isnaini nururrosida - 2:30 AM

Namanya Fika. Tahun ini ia genap berusia 26 tahun. Cerdas, ceria, dan dewasa, kira-kira begitulah kepribadiannya. Oiya lupa, ada lagi tambahannya, sabar dan penyayang. Fika terlahir dari keluarga sederhana. Dari tiga saudara kandungnya, ia lah yang menjadi tangan kanan orang tua nya. Dan kata mamanya, ia juga lah yang bisa selalu di andalkan. Memiliki personality manis, menjadikan Fika banyak dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Tanpa terkecuali. Dibalik hitungan tahun, ternyata tuhan lebih sayang Fika. Pada umurnya yang ke-25, ia dijemput dan kembali kepelukan-Nya.

Tahun 2014 silam, Fika divonis dokter mengidap penyakit ginjal. Kondisi Fika yang kian hari kian memburuk memaksa Fika untuk menjalankan pengobatan. Cuci darah dua minggu sekali pun mulai dijalani. Dan mulai saat itu, jarum suntik bukan lagi benda asing baginya. Dunia seolah berputar 180 derajat. Harapan yang dulu digenggamnya erat, seakan menganga dan bercelah. Pikirannya kacau, jiwanya pun sendu, tapi raganya masih bersuka cita. Fika masih menjadi pribadi yang ceria. Baginya kehidupan yang pahit cukup dia yang tau, orang sekitarnya termasuk orang tuanya, hanya boleh merasakan bahagianya saja. Hal ini tercermin pada masa pengobatannya. Ia tidak pernah menunjukkan reaksi penolakan dalam bentuk apapun, baik fisik maupun psikis.

Senin pekan genap adalah jadwal rutin Fika cuci darah. Fika yang ditemani mamanya, mulai bersiap dan beranjak menuju rumah sakit. Setelah selesai menyelesaikan administrasi yang ada, Fika langsung menuju ruang tindak. Namun Senin kali ini sedikit berbeda. Ruang tindak seperti lebih hidup. Jeritan kesakitan seperti sudah memiliki rythme yang memiliki temponya masing-masing. Fika satu ruang tindak dengan pasien yang melakukan penolakan secara ekstrim. Pukulan demi pukulan tidak terkendali dan tidak bisa dihindari perawat. Sementara itu, Fika yang melihatnya hanya menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya secara perlahan. Mama Fika termenung dan mulai meneteskan air mata, seakan merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya. Melihat mamanya menangis, Fika sontak menenangkan dan meyakinkan mamanya, seraya berkata: 

“Fika baik-baik aja ma”. Sembari memegang erat tangan mamanya.
“Iya mama tau Fika kuat. Fika gapapa loh kalo mau nangis. Fika kenapa gapernah sekalipun ngeluh sakit?” kata mamanya, sembari mengusap air mata.
“Engga ma, Fika malah kasian sama badan Fika. Gara-gara Fika ga nurut mama, Fika jadi kecapean dan jadi kayak gini. Maafin Fika ya ma” ia memeluk mamanya. Isak tangis pun pecah, dan Fika makin menggenggam erat pelukannya.

Satu tahun berlalu, dan Fika masih berteman akrab dengan pengobatannya. Dua tahun berjalan, badan Fika mulai menunjukkan penolakan pada setip obat yang diminumnya. Sugesti positif terus berdatangan dari teman juga keluarganya. Setiap Fika menyelesaikan aktifitasnya, Fika memilih menghabiskan waktu luangnya di kamar. Sesekali keluar kamar, untuk membantu mamanya. Sampai pada suatu saat, mama Fika merasa iba dengan kegiatan Fika yang selalu di habiskan dikamar. Mama Fika pun mulai menyusun cara untuk mendukung kesembuhan Fika. 

“Fik, sini nonton tv diluar bareng mama.” Kata mamanya membujuk.
“Engga ma, Fika mau dikamar. Fika mau istighfar aja” katanya dengan lembut.

Sontak hati mama Fika bergetar, namun sekujur tubuh kaku. Bukan hanya sekali dua kali, rencana yang disusun matang oleh mamanya, selalu berhasil dibuat berantakan oleh respon Fika. Sesekali Fika tertangkap lihat oleh mamanya sedang menulis diary. Sampai suatu ketika Fika bercerita dengan mamanya, ia bercerita tentang angan dan masa depannya.

“Ma, kayaknya kalo aku di datengin professor, dokter ataupun ahli bedah terbaik diseluruh dunia pun, penyakit aku gaakan sembuh deh. Aku ngerasa badan aku udah cape” katanya serius.
“Fik,..” mamanya membalas.
“Ma, boleh ga Fika minta satu hal? Fika pengen banget ketemu sama Anna, Haiman, Hilma, sama Wildan? Katanya semangat menyebutkan sahabat-sahabatnya sambil memotong pembicaraan mamanya.
“Fika sayang, mereka kemarin abis jenguk kamu loh. Tunggu besok lagi yaa. Mama ga enak kalo minta mereka jenguk kamu lagi.” Kata mamanya dengan penuh pertimbangan.
“Oh gitu ya ma, iya deh.” Katanya lirih.

Sehari setelah percakapan hangat kemarin, Fika dan keluarga menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Dan pada hari itu juga Fika menghembuskan nafas terakhirnya.

2017, merupakan tahun yang berat bagi keluarga Fika, terutama mamanya. Keakraban antara keduanya yang menjadi cambuk tersendiri bagi mama Fika. Berjuang diatara iman dan keputusasaan, masih tergambar jelas di wajah mama Fika. Sebab setelah setahun berlalu dari kepergian Fika pun, lanturan kesedihan masih sangat hangat terdengar.

“Kalo dipikir-pikir saya tuh hidup mau cari apa. Dari Fika pergi, sekarang saya selalu menyiapkan diri untuk hal-hal yang bersifat keniscayaan, bahwa setiap dari kita adalah milik Allah, dan akan kembali pada Allah. Kalo anak-anak lain butuh kasih sayang, makanan dan pakaian, yang saya tau cuma satu. Fika disana cuma butuh kiriman doa. Makanya kalo saya terlalu sedih, saya takut kalo nanti saya gabisa ketemu Fika lagi disana”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments